-
DENDAM JIWA

Dendam Jiwa merupakan salah satu bentuk dendam kejiwaan yang terluka terpendam, dan masih tersimpan dalam memori atau pikiran manusia itu sendiri, pemulihan dan untuk penyembuhannya itu membutuhkan waktu jangka Panjang dan cukup memakan waktu yang amat sangat lama hingga puluhan sampai ratusan tahun, karena dendam jiwa itu sudah tertanam dalam jiwa anak-anak cucu-cucu pada setiap bangsa.
Beberapa puluhan tahun yang lalu pernah saya di cerita oleh kakek-nenek tentang kisah ini: di sebuah kampung di Aceh, pada suatu siang seorang petani muncul di hadapan Pemuka Adat dengan membawa daging-daging manusia yang telah dicincang dan dikuliti kulitnya yang berlumuran darah dalam ikat bungkus daun pisang: daging-daging cincang dan kulit-kulit tubuh manusia itu yang tak dikenal.
Pemuka adat yang tercengang dan terhentak itu mendengar cerita petani itu, bahwa dialah yang mencincang-cincang dan mengulitinya pada setiap potongan tubuh manusia itu. Ketika ia berjalan keluar dari rumah menuju ke kebun, setiap hari ia selalu melihat dari balik batang pisang yang sudah panjang berbuah dan siap untuk dipotong, lalu seseorang selalu melewati jalan itu, pergi berangkat untuk bertugas melaksanakan perintah atasannya.
Dendam Jiwa yang sudah sangat lama tersimpan dan memicu api amarah, dengan sangat cepat si petani menikamkan rencongnya ke tubuh orang itu dengan membabi buta…
Kemudian saya lupa kejadian detailnya bagaimana; dan saya juga lupa tentang bagaimana cerita kelanjutannya.
Tapi sudah pasti tidak akan terlalu sulit untuk merekonstruksi kejadian atau peristiwa itu dengan cara membayangkannya. Petani ituu bukan lelaki pertama yang membunuh karena dendam jiwa. Para arkeologi juga menemukan salah satu prasasti dari sekitar ribuan tahun yang lalu, di mana dalam sebuah buku bahwa tertulis Raja memaklumkan sebuah peraturan perundang-undangan yang membenarkan, bahkan mengharuskan, pembunuhan untuk nyawa ditebus dengan nyawa .“Jika seorang melakukakan pembunuhan, maka ianya harus dibunuh juga…”
Kemudian sejarah terus maju berkembang pesat dan bertahap-tahap, atau istilahnya juga disebut step by step, lalu kode Raja itu adat istiadat ditinggalkan oleh manusia. Dengan kesimpulan: tak semuanya. Pembunuh kaum lelaki yang sering disebut “algojo” berlanjut. Juga pengertian itu sebagai wujud praperadilan “keadilan” sebagai pembalasan yang setimpal dengan apa yang telah diperbuat oleh kesalahan seseorang itu.
Prinsip dasarnya itu bersifat kalkulatif (perlu diperhitungkan) seperti orang berdagang di daerah pasar: satu nyawa yang dibunuh dalam penyelesaian konflik harus dibayar dengan satu nyawa orang yang membunuh itu sendiri.
‘Camboek’ ini bertahan setelah Raja mati dan Tuhan Kayu yang disembah di daerah itu tak diakui lagi. Gaungnya bahkan tetap terdengar ketika Penerus Raja mendengar dan memaklumkan hukum dari adat istiadat Perjanjian Lama itu.
Barulah setelah itu sudah sekian lamanya berabad kemudian, “keadilan” berubah.
Di tahun-tahun awal peradaban Masehi, di sebuah Tanah Arafah, Saidina memaklumkan satu asas yang secara radikal itu memang berbeda. Keadilan tak bisa diperhitungkan lagi atau dikalkulasikan kembali. Ia bukan pembalasan dendam jiwa yang sakit. Padahal justu dengan adanya Ia menyambut yang terluka menjadi dendam jiwa. Jangan kau balas orang yang membunuhmu. Dan jika ada orang yang menonjok wajah disebelah kananmu, dan juga berikan lagi wajah kirimu untuk di tumbok.
Saya membayangkan, di masa pasca-Raja itu, mereka yang mendengarkan tentang ajaran itu juga bingung. Bagi mereka yang pimikirnya sudah maju, (dan juga tak hanya bagi mereka saja) pesan revolusipun dari tempat itu tidak masuk akala atau absurd. Tapi bukannya tak menjadi perhatian masyarakat ranah itu sendiri jika tidak menggugah. Secara bersama pengalaman penduduk, semakin lama orangpun pelan-pelan orang mulai sadar, bahwa Tuhan hendak mengingatkan bahwa: selalu ada sisi lain yang tak terduga-duga dalam diri orang yang mereka benci.
Kesadaran akan sebuah kisah itu dari sisi lain itu datang sesuatu yang lebih kuat dari pada keadilan, rupanya :“cinta kasih sayang” kepada antar sesame manusia.
“Cinta kasih sayang” itu punya daya gemetaran yang teramat sangat mendalam dalam diri sendiri seseorang itu.
Dengan itu mereka melihat orang lain — sebagai seorang insan — dan juga sebagai keanekabhinekaan dan keberagaman yang tak habis-habisnya jika menuruti Amarah dan dendam jiwa yang telah berkesumat, sebagaimanapulak antara rindu dan mesra, yang hanya bisa dirasa dalam momen-momen yang akan bisa datang dan juga bisa pula pergi; kebencian dan sakit hati bisa tak seutuhnya dalam momen tertentu. Padahal mereka tak bisa berlebihan dalam menilai tentang manusia itu sendiri, karena tidak ditahu apa yang tersembunyi di dalam hati manusia itu apakah kebaikan atau keburukan itu tidak seorangpun tahu kecuali Tuhan.
Tapi apa boleh dikata dan diperbuat: pembunuhan seperti yang dilakukan petani itu dalam cerita di awal penulisan ini tak bisa dihilangkan begitu saja itupun pengalaman yang dapat menjadi mata pelajaran dimasa-masa yang akan datang dan dijadikan sebuah cerita pengalaman hidup di sepanjang riwayat hidup manusia itu sendiri, yang berdomisili di mana saja.
Banyak juga para Sejarahwan yang terkenal di dunia telah pernah mencatat dalam buku bahwa di masa “pencerahan” Eropa, lelaki Yahudi dan Romawi pernah pula dihukum cambuk, ada juga dihukum pancung, dan juga ada pula di strom dan dibakar hidup-hidup, serta dikubur hidup-hidup bila ketahuan berkhianat pada bangsa dan melakukan pembunuhan terhadap bangsa.
Di zaman era masa lain, juga di tempat lain: 1995, Pembantaian Muslim di Srebrenica, menjadi tempat Kuburan Massal, dari mulai itu pula Pembantaian Srebrenica juga disebut sebagai Genosida Srebrenica yang merupakan kejadian pembantaian terhadap sekitar lebih dari 5000 + 2000 lelaki dan para anak-anak remaja yang beretnik Muslim Bosniak pada Juli 1995 di daerah Srebrenica yang terbunuh, Bosnia dari pasukan Republik Srpska pimpinan Jenderal Ratko Mladić. Jenderal Mladic kini menjadi coretan hitam sejarah kelam bagi internasional yang telah diketahui dan dapati dinyatakan bersalah karena genosida dan berbagai kejahatan perang lain di Yugoslavia. Pada 27 Februari 2007.
Penulis Junirullah
-
RADIO ONLINE

Radio Online OneAir Kembali dengan tampilan baru dan fresh
